Isra Mi’raj Nabi
Muhammad SAW – Seringkali di kalangan masyarakat kita, dalam mendefinisikan
isra dan mi’raj, mereka menggabungkan Isra Mi’raj menjadi satu peristiwa yang
sama. Padahal sebenarnya Isra dan Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda.
Dan untuk meluruskan hal tersebut, pada kesempatan ini duniabaca.com bermaksud
mengupas tuntas pengertian isra dan mi’raj, sejarah isra mi’raj nabi muhammad
SAW serta hikmah dari perjalanan isra’ mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.
Isra Mi’raj adalah dua bagian
dari perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad dalam waktu satu malam saja.
Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam, karena
pada peristiwa ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapat perintah
untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.
Isra Mi’raj
terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama,
Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun
620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27
Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer. Namun demikian, Syaikh
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut dengan alasan karena
Khadijah radhiyallahu anha meninggal pada bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian,
yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban salat lima
waktu. Al-Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra
Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui
secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi’raj.
Peristiwa Isra
Mi’raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil
Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke
langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini
Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima
waktu.
Bagi umat Islam,
peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah
salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan
sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga
dikatakan memuat berbagai macam hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Perjalanan
dimulai Rasulullah mengendarai buraq bersama Jibril. Jibril berkata, “turunlah
dan kerjakan shalat”.
Rasulullahpun
turun. Jibril berkata, “dimanakah engkau sekarang ?”
“tidak tahu”,
kata Rasul.
“Engkau berada
di Madinah, disanalah engkau akan berhijrah “, kata Jibril.
Perjalanan
dilanjutkan ke Syajar Musa (Masyan) tempat penghentian Nabi Musa ketika lari
dari Mesir, kemudian kembali ke Tunisia tempat Nabi Musa menerima wahyu, lalu
ke Baitullhmi (Betlehem) tempat kelahiran Nabi Isa AS, dan diteruskan ke
Masjidil Aqsha di Yerussalem sebagai kiblat nabi-nabi terdahulu.
Jibril
menurunkan Rasulullah dan menambatkan kendaraannya. Setelah rasul memasuki
masjid ternyata telah menunggu Para nabi dan rasul. Rasul bertanya : “Siapakah
mereka ?”
“Saudaramu para
Nabi dan Rasul”.
Kemudian Jibril
membimbing Rasul kesebuah batu besar, tiba-tiba Rasul melihat tangga yang
sangat indah, pangkalnya di Maqdis dan ujungnya menyentuh langit. Kemudian
Rasulullah bersama Jibril naik tangga itu menuju kelangit tujuh dan ke Sidratul
Muntaha.
“Dan
sesungguhnya nabi Muhammad telah melihatJibril itu (dalam rupanya yang asli)
pada waktu yang lain, yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat
tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratull Muntaha diliputi oleh
sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dariyang
dilihatnya itu dan tidakpula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat
sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm :
13 – 18).
Selanjutnya
Rasulullah melanjutkan perjalanan menghadap Allah tanpa ditemani Jibril
Rasulullah membaca yang artinya : “Segala penghormatan adalah milikAllah,
segala Rahmat dan kebaikan“.
Allah berfirman
yang artinya: “Keselamatan bagimu wahai seorang nabi, Rahmat dan berkahnya“.
Rasul membaca
lagi yang artinya: “Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang
sholeh. Rasulullah dan ummatnya menerima perintah ibadah shalat“.
Berfirman Allah
SWT : “Hai Muhammad Aku mengambilmu sebagai kekasih sebagaimana Aku telah
mengambil Ibrahim sebagai kesayanagan dan Akupun memberi firman kepadamu
seperti firman kepada Musa Akupun menjadikan ummatmu sebagai umat yang terbaik
yang pernah dikeluarkan pada manusia, dan Akupun menjadikan mereka sebagai umat
wasath (adil dan pilihan), Maka ambillah apa yang aku berikan kepadamu dan
jadilah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur“.
“Kembalilah
kepada umatmu dan sampaikanlah kepada mereka dari Ku”.
Kemudian Rasul
turun ke Sidratul Muntaha.
Jibril berkata :
“Allah telah memberikan kehormatan kepadamu dengan penghormatan yang tidak
pernah diberikan kepada seorangpun dari makhluk Nya baik malaikat yang terdekat
maupun nabi yang diutus. Dan Dia telah membuatmu sampai suatu kedudukan yang
tak seorangpun dari penghuni langit maupun penghuni bumi dapat mencapainya.
Berbahagialah engkau dengan penghormatan yang diberikan Allah kepadamu berupa
kedudukan tinggi dan kemuliaan yang tiada bandingnya. Ambillah kedudukan
tersebut dengan bersyukur kepadanya karena Allah Tuhan pemberi nikmat yang
menyukai orang-orang yang bersyukur”.
Lalu Rasul
memuji Allah atas semua itu.
Kemudian Jibril
berkata : “Berangkatlah ke surga agar aku perlihatkan kepadamu apa yang menjadi
milikmu disana sehingga engkau lebih zuhud disamping zuhudmu yang telah ada,
dan sampai lah disurga dengan Allah SWT. Tidak ada sebuah tempat pun aku
biarkan terlewatkan”. Rasul melihat gedung-gedung dari intan mutiara dan
sejenisnya, Rasul juga melihat pohon-pohon dari emas. Rasul melihat disurga apa
yang mata belum pernah melihat, telingan belum pernah mendengar dan tidak
terlintas dihati manusia semuanya masih kosong dan disediakan hanya pemiliknya
dari kekasih Allah ini yang dapat melihatnya. Semua itu membuat Rasul kagum
untuk seperti inilah
mestinya manusia
beramal. Kemudian Rasul diperlihatkan neraka sehingga rasul dapat melihat
belenggu-belenggu dan rantai-rantainya selanjutnya Rasulullah turun ke bumi dan
kembali ke masjidil haram menjelang subuh.
Mandapat Mandat
Shalat 5 waktu
Agaknya yang
lebih wajar untuk dipertanyakan, bukannya bagaimana Isra’ Mi’raj, tetapi
mengapa Isra’ Mi’raj terjadi ? Jawaban pertanyaan ini sebagaimana kita lihat
pada ayat 78 surat al-lsra’, Mi’raj itu untuk menerima mandat melaksanakan
shalat Lima waktu. Jadi, shalat inilah yang menjadi inti peristiwa Isra’Mi’raj
tersebut.
Shalat merupakan
media untuk mencapai kesalehan spiritual individual hubungannya dengan Allah.
Shalat juga menjadi sarana untuk menjadi keseimbangan tatanan masyarakat yang
egaliter, beradab, dan penuh kedamaian. Makanya tidak berlebihan apabila Alexis
Carrel menyatakan : “Apabila pengabdian, sholat dan do’a yang tulus kepada Sang
Maha pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, hal itu berarti
kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut“. Perlu
diketahui bahwa A. Carrel bukanlah orang yang memiliki latar belakang
pendidikan agama, tetapi dia adalah seorang dokter dan pakar Humaniora yang
telah dua kali menerima nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung
gereja dan pencangkokannya. Tanpa pendapat Carrel pun, Al – Qur’an 15 abad yang
lalu telah menyatakan bahwa shalat yang dilakukan dengan khusu’ akan bisa
mencegah perbuatan keji dan mungkar, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang
harmonis, egaliter, dan beretika.
Perintah sholat
dalam perjalanan isra dan mi’raj Nabi Muhammad SAW, kemudian menjadi ibadah
wajib bagi setiap umat Islam dan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan
ibadah-ibadah wajib lainnya. Sehingga, dalam konteks spiritual-imaniah maupun
perspektif rasional-ilmiah, Isra’ Mi’raj merupakan kajian yang tak kunjung
kering inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan umat beragama (Islam).
Bersandar pada
alasan inilah, Imam Al-Qusyairi yang lahir pada 376 Hijriyah, melalui buku yang
berjudul asli ‘Kitab al-Mikraj’ ini, berupaya memberikan peta yang cukup
komprehensif seputar kisah dan hikmah dari perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi
Muhammad SAW, beserta telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa
ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadits shahih, Imam al-Qusyairi dengan cukup
gamblang menuturkan peristiwa fenomenal yang dialami Nabi itu dengan runtut.
Selain itu, buku
ini juga mencoba mengajak pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam
kisah sakral Rasulullah SAW, serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini,
termasuk mengenai mengapa mikraj di malam hari? Mengapa harus menembus langit?
Apakah Allah berada di atas? Mukjizatkah mikraj itu hingga tak bisa dialami
orang lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut kita
teladani?
Bagaimana dengan
mikraj para Nabi yang lain dan para wali? Bagaimana dengan mikraj kita sebagai
muslim? Serta apa hikmahnya bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang
dalam buku ini.
Dalam
pengertiannya, Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar
perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan
bersejarah yang akan menjadi titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah
SAW. John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the
Islamic Experience,” seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa
Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup
Rasulullah SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj,
menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan
dunia spiritual.
Jika perjalanan
hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum
Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas
kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba
(al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju
kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi,
adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah
perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr
Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni
ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh
hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth
thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah
milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu
warahmatullahi wabarakaatuh”.
Mendengar
percakapan ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat.
Maka, dari ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai
bagian dari bacaan shalat.
Selain itu,
Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan
bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan
hakikat spiritual dari shalat yang di jalankan umat islam sehari-hari. Dalam
artian bahwa shalat adalah mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita
tarik benang merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya
penderitaan dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua,
kesabaran yang berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mi’raj dan
perintah shalat. Dan ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan
kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan. Ketiga hal diatas telah
terangkum dengan sangat indah dalam salah satu ayat Al-Quran, yang berbunyi
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang
yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya.”
Mengacu pada
berbagai aspek diatas, buku setebal 178 halaman ini setidaknya sangat menarik,
karena selain memberikan bingkai yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’
mikraj Nabi saw, tetapi juga memuat mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta
beberapa wali. Kemudian kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga
mengenai kisah Mikrajnya Abu Yazid al-Bisthami. Mikraj bagi ulama kenamaan ini
merupakan rujukan bagi kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju
Allah.
Ia menggambarkan
rambu-rambu jalan menuju Allah, kejujuran dan ketulusan niat menempuh
perjalanan spiritual, serta keharusan melepaskan diri dari segala sesuatu
selain Allah. Maka, sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah
menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang
menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj
menjadi “puncak” perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.
Editor : Media_UA
Isra
Mi’raj Nabi Muhammad SAW – Seringkali di kalangan masyarakat kita,
dalam mendefinisikan isra dan mi’raj, mereka menggabungkan Isra Mi’raj
menjadi satu peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya Isra dan Mi’raj
merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dan untuk meluruskan hal tersebut,
pada kesempatan ini duniabaca.com bermaksud mengupas tuntas pengertian
isra dan mi’raj, sejarah isra mi’raj nabi muhammad SAW serta hikmah dari
perjalanan isra’ mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.Isra
Mi’raj Nabi Muhammad SAW – Seringkali di kalangan masyarakat kita,
dalam mendefinisikan isra dan mi’raj, mereka menggabungkan Isra Mi’raj
menjadi satu peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya Isra dan Mi’raj
merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dan untuk meluruskan hal tersebut,
pada kesempatan ini duniabaca.com bermaksud mengupas tuntas pengertian
isra dan mi’raj, sejarah isra mi’raj nabi muhammad SAW serta hikmah dari
perjalanan isra’ mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.
Comments
Post a Comment